BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan
pendidikan agama Islam pada sekolah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa
pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, pertama,
pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan
pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum
berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal,
serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan
pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal,
dan non formal, serta informal.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
PERMASALAHAN
DAN TANTANGAN YANG DI HADAPI
DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1.1.
Permasalahan dalam pendidikan agama islam
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan
tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam
kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia publik bahwa pendidikan
Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal
dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik
pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan
adalah mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia
agar benar-benar mampu menjadi khalifah
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di
Indonesia masih dibalut sejumlah problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul
dari elemen-elemen intern maupun ekstern yang ada di sekitar badan itu sendiri.
Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu berakar dari penyebab
eksternal dan penyebab internal Problem internal hingga ekternal pun hadir di
tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal
managemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah
sederet daftar problem yang mestinya ditindak lanjuti.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan
Islam,yaitu :
1.
meliputi manajemen
pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di
capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya
tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran
terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di
pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.
Menurut Moh. Raqib
bahwa problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini adalah
alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal tersebut
tampak pada alumni yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja dan lebih
mengandalkan untuk menjadi PNS sementara lowongan kerja untuk PNS sangat
terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas untuk menciptakan lowongan
kerja sendiri.
Tentunya fenomena
ketidak kreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system pendidikan
dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenang sering kali tidak
menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang
meliputi pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini
menunjukkan bahwa managemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada
umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan
yang efektif dan berkualitas.
2.
faktor kompensasi profesional guru yang masih
sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar
mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama
menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen kelas, dan
motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai kompetensi pedagogik , kepribadian,
profesional, dan sosial. Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya
yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar.
3.
faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi
dan negosiasi. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki
kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga
lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan
untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Selain faktor internal terdapat pula faktor-faktor
eksternal yang dihadapi pendidikan Islam, meliputi :
1.
adanya
perlakuan diskriminatif (membeda-bedakan) pemerintah terhadap pendidikan
Islam. Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan
pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu
urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan
Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk
mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
2.
dapat dikatakan bahwa
paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh
pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak
dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah
Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak
atau lulusan pendidikan Islam.
3.
dapat di katakan
bahwa paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah
mata. Lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah
tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang
sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang
demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lemabaga
pendidikan islam.
Posisi dan peran
pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan.
Seharusnya, Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan
alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah,
sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam
seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan
Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi, kasus teroris yang dalam kisah
pendidikannya ada lulusan sekolah Islam. Ini mungkin menjadi alasan yang tidak
cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada. Dengan
demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk
menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman, tetapi
juga ilmu bisa terwujud.
Diharapkan
adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan pendidikan Islam untuk
meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina
potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara
optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya
membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari
sekolah-sekolah Islam.
Dengan
demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigma yang buruk tentang kualitas
pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep
integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara
kajian-kajian agama dengan kajian lain (non-agama) dalam pendidikan Islam yang
merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila
menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.
2.2 Tantangan Pendidikan agama Islam
Menurut Center for Moderate Muslim Indonesia,
setidaknya ada tiga tantangan pokok yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia
dalam menelusuri arus global yaitu:
1.
Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang
ada menjadi kendala mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam.
Lembaga pendidikan dasar dan menengah masih menggunakan model kurikulum lama
dengan mengandalkan pendidikan dasar agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan
agama lebih lanjut kepada masyarakat.
2.
Perubahan Sosial Politik
Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut
memberi warna pada dunia pendidikan Islam. Sebagai negara demokrasi, politik
merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit ulama (pengampu
pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis.
3.
Perubahan orientasi.
Bung Hatta
pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri
senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik
agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam
senantiasa compatible (cocok) dengan perkembangan masyarakat.
Hari ini, tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang
masih alergi dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai
bentuk hegamoni (pengaruh kepemimpinan) Barat di bidang ilmu pengetahuan.
Kemajuan intelektual ikut sedang dialami umat..
2.3 Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan agama
Islam
Untuk
mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
1. solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal
pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya
biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
2. solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal
teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya
BAB III
PENUTUP
Pendidikan
Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi
harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi,
maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini
semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum
Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan
mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu
sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama
Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri
sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau pendidikan
itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kita.
Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana bersama semua
pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat, orang tua. Dalam
kenyataan pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal yang belum
memenuhi harapan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. Muhaimin, M.A. 2009. Rekonstruksi
Pendidikan Islam; Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada